Puisi Kota-Kota Fikar W. Eda
Penyair asal Aceh, Fikar W. Eda, selalu menghadirkan yang menghentak. Sebetulnya puisi-puisinya adalah bercorak naratif, yang bercerita tentang sesuatu — dalam hal ini kegelisahanna. Nah kali ini, ia berkisah tentang kota-kota di Aceh, yang dilintasi atau dikunjunginya. Ini adalah puisi terbaru penyair kelahiran Takengon pada 1966 itu.
Selain meyair, Sarjana Pertanian dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Belum lama ini, magister seni dari Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu meluncurkan buku puisi berjudul “Sepiring Mie Aceh, Secangkir Kopi Gayo Bertalam Giok Nagan” di Boulevard Cafe Jakarta, Tanah Abang, Jakarta, Jumat 1 April 2016.
Baca: Penyair Fikar W Eda Luncurkan Buku Puisi Kopi Gayo
Tak hanya menulis puisi, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2014-2016) itu banyak terlibat dalam berbagai kegiatan sastra di dalam maupun di luar negeri. Kini ia memimpin Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI). Bersama Mustafa Ismail dan Dianing Widya Yudhistira, Fikar mendirikan Aceh Culture Centre yang berbasis di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga yang bercita-cita untuk menggali, mengembangkan dan mempromosikan budaya Aceh di luar Aceh. Di lembaga itu, ia duduk sebagai Direktur dan Mustafa ismail sebagai Direktur Eksekutif.
Bersama Mustafa Ismail pula, pada 2009, Fikar menggagas dan mengadakan Aceh International Literary Festival (AILFEST) di Banda Aceh yang menghadirkan para sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Dalam acara itu, mereka mengadakan baca puisi di atas perahu dengan berkeliling di Krueng Aceh. Itu adalah kali pertama puisi dibacakan di atas Krueng Aceh di Banda Aceh, sebuah sungai utama yang membelah kota itu.
Bersama grup musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Fikar menggelar “Tour Salam Damai” di sejumlah kota dalam rangka Kampanye Hak Asasi Manusia Aceh. Menyusun antologi sastra “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” bersama Lian Sahar dan Abdul Wachid BS (Kasuha, 1999), dan buku “Aceh Menggugat” (Pustaka Sinar Harapan, 1999) bersama S Sastya Dharma. Menulis buku “FORBES dan Jejak Lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh” (Forbes, 2008), “SABANG, Menyusur Jejak Pelabuhan Bebas” (BPKS, 2008).
Sebelum meluncurkan buku “Sepiring Mie Aceh, Secangkir Kopi Gayo Bertalam Giok Nagan”, ia telah lebih dulu mengumpulkan puisi-puisinya dalam buku berjudul “Rencong”. Berikut adalah sejumlah puisi Fikar diposting oleh penyair itu sendiri di ruangsastra.com yang merupakan jaringan Infosastra.com.
KABUT SINGGAHMATA
Fikar W.Eda
Kabut lembut Singgahmata,
Tanjakan pertama ungu muda,
Menutup ujung jalan,
Kabut bagai gelembung kuah belanga,
Tak ada gegas, resah, juga duka,
Harum pohon basah
Menyergap pori pori,
Kaca mobil terkuak lebar
Burung kecil menyampai kabar,
Terbang manja,
Lewat satu tarikan dalam,
Seluruh kabut
Menutup rongga dada.
Tanjakan berikutnya,
Kabut terkuak bagai tingkap,
Bersusun murung dan rahasia
Lembah putih kanan jalan,
Adalah sayap senyap
Dengan ruasnya yang terjaga
Daun mengirimkan doa,
Bagi penghuni rimba,
Lewat cello Jassin Burhan
Petik sitar Yoyok Harness
Tabuh rapa’i Yoppi Andri
Dan puisi yang diterbangkan angin
Menuju dinding lembah
Beutong Ateuh satu tikungan lagi,
Pada rumah kecil empat sagi
Kami lafazkan doa
Untuk mereka yang pergi
berkalang nyawa
Turunan lain,
Tanoh Depet namanya,
Aman Ulis mengikatkan karung plastik
Pada sepeda motor tanpa plat,
Berisi panenan cabe hari ini.
Bersama istri, kami salam bersapa.
Jembatan Berawang Gading,
Maghrib makin pekat,
Ceh Ramlah, perempuan bersuara merdu, tinggal di seberang jalan.
Maaf, tak bisa singgah.
Tak jauh lagi Celala,
Umah Paloh tempat
Cut Nyak Dhien perempuan mulia
Dari ujung jembatan,
Punggungmu kian samar,
lalu lenyap dalam gelap,
menyisakan kabut di mata,
dan mata orang-orang yang singgah di sana.
13/12/2015
MEULABOH
Fikar W.Eda
Tiba di kotamu dalam deras hujan
Dermaga kecil di ujung kedai telah sepi,
Nelayan menggulung tali,
Meulaboh, tempat puisi pernah berlabuh
Kita baca bersama bertahun lampu
Saat melintasi masjid kecil
Dalam gumam ratib
Aku datang lagi,
Seperti juga dulu,
Melewati Geureute,
Menggapai Calang
Di Teunom, banjir menggenang
Desember selalu mengantarkan hujan
Pelaminan mengapung begitu saja
Pengantin senyum menerima restu
Aku di situ, tanpa lagi bersamamu
Tapi kau masih menyisakan rintik hujan di mataku.
12/12/2015
LEUSER
Fikar W.Eda
Assalamu’alaikum
Sungai yang mengalir deras
Di hati,
hutan dan pohon
Menjulang tinggi
batu kokoh dan tegar
Terpacak di sini
Lembah Leuser
Teduh lembut
Hutan menggetarkan
Tubuh pohon jangkung ke awan
Daun rindang tudung matahari
Lawe Alas merentang dari Gayo Lues
Berkelok riam sampai Singkel.
Mengantarkan harapan
Mengirimkan impian
Di Ketambe musik dimainkan
Dari tepi sungai yang keruh deras
Merapal nasib
Belang Simpur yang digusur
dari halaman rumah sendiri,
“Kami minta hak kami.
Ini tanah adat kami.
Ini hutan adat kami.”
Tiga wajah lugu diadili
Untuk kebun yang mereka tanami
Bagi hidup sejengkal lagi.
Nyanyian mereka parau.
Tak siapa yang hirau.
Juga kau, kutu busuk !!!
Tanah Alas
Membujur ruas nasib petani.
Tanah Alas, Desember 2015
OE EKAM
Cipt: fikar w. eda
Mengayuh pucuk angin
Menggapai bentang awan
Tertawan cahaya mata
Perempuan berwajah teduh
Dermaga terlalu jauh
Bersimpuh gelombang raya
Oe Ekam bukit karang
Tanah kering gersang
Bertaut pandang tanpa punca
Kepak elang menari
Lincah menapak bumi
Jenjang kaki muda-muda
Menari tak menghitung langkah
Menggeliat bagai lintah
Dari bocah hingga para tua
Oe Ekam
Oe Ekam
Sirih pinang
Tembakau puja
Oe Ekam
Oe Ekam
Bersusun tenun doa
Okt 2015
Catatan: Oe Ekam: nama desa, 200 Km tenggara Kupang NTT
KUPANG
Fikar W.Eda
Kupang di atas karang
Kedip mata bintang
Bulan cahya terang
melipat tubuh prasasti purba
Musik raung garang
Berdentam kencang
Melaju mengeram
Dalam angkutan kota
Hampar Teluk Kupang
Bangau putih terbang
Paruh kaki panjang
Mematut lumut hijau muda
Jumat di atas karang
Dua kubah menjulang
Azan ngumandang
Nurussaadah masjid tertua
Kupang di atas karang
Harum ikan panggang
Menyisakan kenang
Tungku sedikit bara
Okt 2015